MAKALAH
PROSES DAN POLEMIK PEMEKARAN WILAYAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah hubungan pemerintah pusat dan daerah
Disusun Oleh :
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI MALANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pengertian
pemekaran daerah bila dicermati ulang agaknya sedikit membingungkan dan
terbalik dengan pemahaman kita selama ini. Pengertian Pemekaran dearah dapat
diartikan memekarnya (mengembang) suatu daerah menjadi lebih luas, analog
dengan ”bunga mekar”, yang awalnya kuncup (kecil) mekar mengembang atau
bertambah besar, tetapi bukan bertambah banyak jumlahnya, seperti, hewan amoeba membelah diri. Sedangkan makna
pemekaran daerah, sebagimana sudah dipahami umum saat ini, adalah terbaginnya
daerah otonom (Provinsi/Kabupaten/Kota) menjadi beberapa daerah otonom baru,
persis seperti amoeba membelah diri
menjadi dua, kemudian hasil pembelahan membelah lagi hinggga tercipta ribuan amoeba-amoeba. Daerah sebagai wilayah
tidak bertambah luas, bahkan daerah induk –yang bermekar – justru semakin
sempit dan kecil karena sudah terbagi. Pemerintah Daerahnya yang semakin
banyak, tetapi daerah atau wilayahnya bertambah sempit/kecil. Sebenarnya lebih
tepat disebut “Pembelahan Daerah” atau “Pembagian Daerah” ataupun “Pemisahan
Wilayah”, tapi kedengaranya tidak enak semua istilah itu. Karena salah kaprah
istilah ‘Pemekaran Daerah’ sudah diterima secara umum maka Penulispun - yang
pernah berdinas di Kabupaten yang berkali-kali mekar - dengan terpaksa tetap
meggunakannya demi kemudahan interpretasi.
Setelah
peristiwa reformasi Tahun 1998, Desentralisasi merupakan salah satu perubahan sosial politik
yang dialami Indonesia dan diimplementasikan melalui UU 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, khususnya yang menyangkut, Pembentukan dan Kriteria
Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Sejak itulah Kabupaten/Kota/Provinsi baru
tumbuh subur seperti jamur dimusim hujan, hingga akhir Desember 2008 telah
terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari tujuh provinsi, 173 kabupaten, dan 35
kota, bandingkan pada era orde baru selama 32 tahun hanya bertambah 3 Provinsi.
Dengan demikian hingga akhir 2008 saja sudah ada 33 Provinsi, 398 Kabupaten,
dan 93 Kota di Indonesia. Masih banyak usulan pembentukan Daerah Otonom baru
dalam antrian menunggu perngesahan Pemerintah dan DPR.
Semangat
pemekaran daerah tercermin pada keinginan sebagian orang berkepentingan di
daerah untuk memisahkan diri membentuk Pemerintah Propvinsi/Kabupaten/Kota baru
dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apakah daerah-daerah
otonom baru sudah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya?
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas maka penulis dapat membuat rumusan masalah sebagai beriku
:
1. Bagaimana proses atau syarat
pemekaran wilayah?
2. Bagaimna polemik pemekaran wilayah?
C.
Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana proses
dan syarat pemekaran wilayah?
2. Untuk mengetahui bagaimna polemik
pemekaran wilayah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses
atau Syarat pemekaran Wilayah
Wacana pemekaran daerah biasanya
diawali dengan penyebaran isu ketidak adilan, ketidak adilan pembagian wilayah
pembangunan, ketidak adilan karena tokoh-tokoh pemegang kekuasaan selalu dari
wilayah tertentu atau keturunan golongan tertentu, dan ketidak adilan perlakuan
berbeda lainnya. Kemudian isu-isu ketidak adilan dicampur dan diperkuat dengan
isu “perbedaan identitas” seperti perbedaan dialek bahasa, perbedaan sejarah,
perbedaan pembagian wilayah sejak zaman Belanda, perbedaan kekayaan alam, dan
perbedaan-perbedaan lainnya yang kadang dicari-cari agar “kita memang beda”
lebih tegas. Hasilnya adalah opini ‘lebih baik berpisah’, dikampanyekan kepada
seluruh masyarakat. Selanjutnya para trokoh-tokoh yang berkepentingan yang
awalnya hanya segelintir menggalang pengikut hingga memadai untuk memulai
proses pembentukan daerah otonom baru.
Modal jumlah pengikut dan semangat
saja tidak cukup menggerakkan pembentukan daerah otonom baru, ketersediaan dana
juga sangat menentukan, khususnya untuk pengurusan proses pemekaran di tingkat
lebih tinggi, seperti di Provinsi dan Pusat. Ada pembicaraan di kedai kopi yang
mengatakan, untuk mengurus pembentukan Kabupaten di Jakarta paling tidak harus
punya modal uang Rp. 2 Milyard, itupun yang paling murah. Berapa biaya seluruhnya,
belum ada yang pernah memperkirakannya apalagi menghitungnya. Siapakah
penyandang dananya?
Penyandang dana sudah pasti
orang-orang punya banyak uang diantara tokoh-tokoh yang berkepentingan seperti
pengusaha daerah, kontraktor-kontraktor, pejabat dan mantan pejabat daerah, dan
putra-putra daerah yang sudah berhasil diluar daerah. Tidak semua tokoh-tokoh
pelopor pemekaran punya uang, kebanyakan mereka hanya bermodalkan suara
lantang. Biaya sebesar 2 Milyard yang dikemukakan di kedai kopi dimuka adalah biaya
taktis, biaya yang tidak dapat dipertanggung jawapkan sesuai pengelolaan
keuangan negara baik oleh yang memberi maupun yang menerima, oleh sebab itu
tidak mungkin dibebankan pada keuangan daerah kabupaten induk. Sebagian biaya
pemekaran daerah ─ meskipun sebenarnya tidak tepat penggunaannya ─ di
dibebankan pada anggaran pemerintah, contoh misalnya, para Kepala Dinas dan
Anggota DPRD berbondong-bondong dan berkali-kali melakukan perjalanan dinas ke
ibu kota provinsi dan Jakarta, pada surat perjalanan dinasnya untuk koordinasi
teknis tentang tugas instansinya, tetapi yang mereka kerjakan mengurus
pemekaran daerah.
Apakah syarat pembentukan daerah
otonom baru demikian ringannya sehingga tidak dapat dibendung? Semuanya sudah
ada undang-undang dan peraturannya, soal berat-ringannya itu relatif. Contoh
misalnya, usulan pembentukan daerah otonom baru harus didahului study kelayakan
oleh lembaga pengkajian yang memiliki kapasitas dan kapabilitas. Pada tahap
pertama ini saja, penilaian akan sangat relatif tentang layak tidaknya
pembentukan Kabupaten/Kota/Propinsi. Hasil pekerjaan study kelayakan bisa
diatur sesuai kebutuhan pemberi pekerjaan, Tahap-tahap selanjutnya lebih pada
prosedural belaka, seperti, rekomendasi Bupati/Gubernur, DPRD
Kabupaten/Provinsi, Mendagri, dan pengesahan DPR, semuanya itu dapat
diselesaikan dengan lobyng.
Pemekaran daerah bertolak belakang
semangatnya dengan reformasi birokrasi yang bertujuan menciptakan pengelolaan
negara yang profesional, efisien, dan efektif, yang hendak diwujudkan semua
pihak. Banyak pihak menuntut agar dilakukan moratorium pemekaran daerah, tetapi
Kabupaten/Kota baru tetap saja muncul. Ibarat sebuah perahu, ada pihak bertugas
menambal lubang-lubang perahu bocor, tetapi ada pula yang lain kerjanya
melubangi perahu agar tetap ada bocor, suka tidak suka itulah kita, itulah
Indonesia!
UU No 24 Tahun 2004 telah mengatur
ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah
dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk
dalam ruang lingkup pembentukan daerah.
UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan
bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang
tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2)
pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut. “Undang-undang pembentukan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah,
batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan
penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian,
pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”
Legalisasi pemekaran wilayah
dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat berikutnya (ayat (3) yang
menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah
atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi
dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4) menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah
menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.”
Namun demikian, pembentukan daerah
hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan
fisik kewilayahan (secara rinci dapat dilihat pada PP 129 tahun 2000).
Bagi provinsi, syarat administratif
yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan
bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan,
persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri
Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus
dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota
bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari
Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor seperti: (a) Kemampuan ekonomi; (b) Potensi daerah; (c) Sosial budaya; (d) Sosial politik; (e) Kependudukan; (f) Luas daerah; (g) Pertahanan; (h) Keamanan; dan (i) Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor seperti: (a) Kemampuan ekonomi; (b) Potensi daerah; (c) Sosial budaya; (d) Sosial politik; (e) Kependudukan; (f) Luas daerah; (g) Pertahanan; (h) Keamanan; dan (i) Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Terakhir,
syarat fisik yang dimaksud syarat ini harus meliputi paling sedikit lima
kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan
untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi
calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
B.
Polemik Pemekaran Wilayah
Pemerintah mulai jengah dengan
penyampaian aspirasi pembentukan daerah otonom baru, yang dilakukan dengan cara
menggelar aksi demonstrasi ke Jakarta. Aksi biasanya untuk menekan
pemerintah dan DPR agar mengabulkan aspirasi pemekaran, meski misalnya belum
ada persetujuan dari pemda induk atau pun DPRD-nya.
Mendagri
Gamawan Fauzi mengatakan, aksi unjuk rasa di Jakarta tidak perlu terjadi jika
DPRD daerah setempat menjalankan perannya secara optimal. Gamawan meminta DPRD
melakukan rapat dengar pendapat dengan seluruh komponen masyarakat, guna
menghindari polemik terhadap aspirasi pemekaran.
Dari rapat itu, DPRD sebagai representasi masyarakat bisa mengambil keputusan, merekomendasikan atau tidak aspirasi pemekaran itu. Sikap DPRD ini yang akan menjadi acuan pusat dalam merespon desakan pemekaran.
"Selama
ini yang muncul demo-demo, minta pemekaran. Kita minta sebelum ke Jakarta,
gelar dulu rapat dengar pendapat dengan kalangan masyarakat. Tokoh adat,
kampus, pemuda, dan seluruhnya. Dewan yang bijaksana mestinya melakukan
itu," ujar Gamawan Fauzi di kantornya, kemarin (31/5).
Pernyataan
Gamawan menanggapi usulan pengamat politik Ramlan Surbakti, yang mengusulkan
agar masyarakat dilibatkan dalam pengusulan pembentukan daerah pemekaran baru,
dengan melakukan jajak pendapat atau referendum. Cara ini bisa untuk
mengetahui apakah pemekaran semata karena ada kepentingan segelintir elit, atau
memang keinginan masyarakat luas.
Gamawan
tidak setuju usulan itu. "Referendum itu mahal," cetusnya. Gamawan
lebih setuju jika dioptimalkan rapat dengar pendapat dengan masyarakat di DPRD.
Jika DPRD serius melakukan rapat dengar pendapat, tidak hanya formalitas, maka
masyarakat tidak akan sampai menggelar aksi demo di Jakarta.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemekaran
Daerah dapat dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut :
a. kemampuan ekonomi;
b. potensi daerah;
c. sosial budaya;
d. sosial politik;
e. jumlah penduduk;
f. luas daerah;
g. pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
a. kemampuan ekonomi;
b. potensi daerah;
c. sosial budaya;
d. sosial politik;
e. jumlah penduduk;
f. luas daerah;
g. pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
1)Adanya kehendak masyarakat utk dilakukan pemekaran
2) Jangkauan wilayah yg terlalu luas dan pelayan publik yg tidak maksimal
3) Pemanfaatan potensi ekonomi secara maksimal utk menciptakan pemerataan kesejahteraan
2) Jangkauan wilayah yg terlalu luas dan pelayan publik yg tidak maksimal
3) Pemanfaatan potensi ekonomi secara maksimal utk menciptakan pemerataan kesejahteraan
Masyarakat
dilibatkan dalam pengusulan pembentukan daerah pemekaran baru, dengan melakukan
jajak pendapat atau referendum. Cara ini bisa untuk mengetahui apakah
pemekaran semata karena ada kepentingan segelintir elit, atau memang keinginan
masyarakat luas dan dioptimalkan rapat dengar pendapat dengan masyarakat di
DPRD. Jika DPRD serius melakukan rapat dengar pendapat, tidak hanya formalitas,
maka masyarakat tidak akan sampai menggelar aksi demo di Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.dsfindonesia.org/userfiles/Studi_Evaluasi_Pemekaran_Daerah.pdf
http://argama.files.wordpress.com/2007/08/pemberlakuanotonomidaerahdanfenomenapemekaranwilayahdiindonesia.pdf
http://www.adkasi.org/id.php/main/massmedia/162
http://argama.files.wordpress.com/2007/08/pemberlakuanotonomidaerahdanfenomenapemekaranwilayahdiindonesia.pdf
http://www.adkasi.org/id.php/main/massmedia/162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar