Sabtu, 09 Agustus 2014

Kesetaraan Gender



Kesetaraan Gender: Kondisi Perempuan Yang Perlu Diwujudkan
Latar Belakang
Dalam Konstitusi, Pasal 28 I (2) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Hal ini berarti bahwa secara filosofis, Indonesia menjamin dan melindungi tiap warga negaranya dari sikap atau tindakan diskriminatif tanpa membeda-bedakan status sosial, ras, suku, budaya, agama, maupun jenis kelamin. Karena tindakan diskriminatif yang menyebabkan penguasaan dan dominasi terhadap salah satu kelompok warga tertentu merupakan sikap yang tidak berperikemanusiaan dan berperikeadilan, sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
http://www.kalyanamitra.or.id/wp-content/uploads/2012/09/gender-equality.jpgDalam kenyataannya, masih ada diskriminasi dan pembedaan terhadap perempuan baik sebagai warga negara maupun sebagai manusia. Ini tergambar dalam pengakuan Indonesia di ranah Internasional bahwa memang terdapat diskriminasi dalam berbagai bentuk terhadap perempuan. Pengakuan tersebut dilakukan dengan ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on Elimination of All Form of Discrimination Against Women/CEDAW) dalam bentuk UU No. 7 Tahun 1984. Indonesia merupakan salah satu negara dari sekitar 182 negara di dunia yang telah meratifikasi Konvensi itu. Arti pengakuan bahwa masih ada diskriminasi terhadap perempuan ini berlatar belakang buruknya kondisi perempuan, dari sisi kesehatan dengan masih tingginya angka kematian ibu dan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan baik di ranah keluarga maupun komunitas; belum diakuinya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan sehingga kepentingannya tidak terwakili, dan lain-lain kondisi yang menyebabkan perempuan dalam kondisi yang tertinggal atau tidak setara dibandingkan dengan laki-laki. Padahal perempuan sudah memberikan sumbangan besar bagi kesejahteraan keluarga dan pembangunan masyarakat.
Hal tersebut dikarenakan terjadinya ketidakadilan gender yang merupakan akibat dari budaya patriarkhi yang masih kuat berkembang di masyarakat dan dilanggengkan dalam berbagai kehidupan melalui praktik-praktik nilai-nilai budaya, sosial dan nilai-nilai kehidupan lainnya, telah membawa pembedaan akses, peminggiran, stereotype, beban yang berlebih, hingga pada kekerasan terhadap perempuan. Dampak tersebut terjadi di berbagai bidang kehidupan karena budaya patriarkhi sudah menginternal dalam pikiran-pikiran setiap individu anggota masyarakat yang seringkali berwujud pada tindakan-tindakan mereka ketika mereka berada di ranah publik maupun domestik karena kerja-kerjanya.
Ketika ketidakadilan gender ini dibiarkan berlangsung terus menerus, maka akan menghambat perkembangan kemakmuran masyarakat dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negara dan terhadap umat manusia. Dan kondisi akan semakin parah bagi perempuan, ketika kemiskinan mendera, yang akhirnya menempatkan perempuan pada posisi yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh kesempatan kerja dan lain-lain kebutuhan.
Oleh karenanya, kondisi ketidakadilan gender yang menimbulkan diskriminasi pada perempuan ini harus dirubah dan dihapuskan dengan langkah tindak sebagaimana yang dimandatkan dalam UU No. 7 Tahun 1984 beserta lampirannya. Dimana dalam UU tersebut pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk mempromosikan, memenuhi dan melindungi hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian Negara berkewajiban melakukan segala upaya untuk memberikan perlindungan, penjaminan dan pemenuhan hak untuk hidup aman, setara dan adil bagi warganegaranya, terutama bagi warganegara perempuan yang masih mengalami ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender di berbagai bidang kehidupan terutama di perdesaan.
Peraturan tentang Kesetaraan Gender
Upaya pengaturan dan jaminan secara hukum terhadap hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan, merupakan salah satu upaya yang diharapkan dapat dilakukan oleh negara-negara pihak dari Konvensi CEDAW tersebut.
Saat ini, ada sekitar 45 negara yang sudah mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kesetaraan gender dalam berbagai bentuk peraturan. Secara umum, terdapat dua model pengaturan tentang kesetaraan gender ini. Yang pertama, peraturan yang isinya mencakup 16 pasal dalam CEDAW; yang kedua, peraturan yang bertujuan khusus mengatur satu atau dua bidang penting dalam CEDAW, misalnya tentang kekerasan berbasis gender, pendidikan atau diskriminasi terhadap perempuan.
Peraturan tentang kesetaraan gender yang pertama di dunia adalah Peraturan tentang Kesetaraan Seks (Law on Sex Equality) yang dikeluarkan oleh Republik Rakyat Demokratik Korea pada 1946. Kemudian Undang-Undang tentang Kesetaraan Upah (Equal Pay Act) pada 1970 di UK dan Undang-Undang tentang Diskriminasi Seks (Sex Discrimination Act) pada 1975 di UK. Ketiganya merupakan peraturan sebelum ada konvensi CEDAW. Setelah ada konvensi CEDAW, terdapat Undang-Undang Diskriminasi Seks (Sex Discrimination Act) pada 1984 di Australia. Setelah itu, mulai diterbitkanlah peraturan maupun undang-undang sejenis di beberapa negara di Asia, Afrika dan Eropa.
Indonesia merupakan salah satu negara yang saat ini sedang menggagas keberadaan perlunya pengaturan secara khusus yang menjamin kesetaraan gender. Pada periode legislasi nasional 2010-2014, pemerintah mengusulkan pembahasan RUU tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender. Dan pada 2011 ini, RUU tersebut menjadi salah satu RUU prioritas pembahasan legislasi dan masuk dalam agenda pembahasan di Komisi VIII. Dan hingga Maret 2011 ini, ada dua versi draft yakni pertama, RUU tentang Kesetaraan Gender yang diusulkan dan disusun oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kedua, RUU tentang Pengarus Utamaan Gender yang diusulkan dan disusun oleh Komisi VIII DPR-RI. Namun sampai sekarang belum dimulai pembahasan RUU tersebut.
Saat ini, masyarakat sipil sedang menggagas untuk masukan dan kritisi terhadap dua draft yang ada. Karena berangkat dari filosofi kepentingan yang berbeda, maka Jaringan Advokasi Kesetaraan Gender bersepakat melalui workshop 11 Maret 2011 untuk membuat sandingan secara keseluruhan komsep pengaturan tentang kesetaraan gender. Hal ini karena draft RUU dari pemerintah dan DPR lebih menunjukkan pengaturan tentang tata kelola mainstreaming gender di Indonesia. Dan jika melihat lebih jauh, hak-hak perempuan yang spesifik belum menjadi hal penting dalam pengaturannya karena diletakkan pada penjelasan pasal dan belum jelasnya kewajiban siapa dalam menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam berbagai bidang.
Oleh karena itu, beberapa usulan penting yang perlu diatur dalam RUU Kesetaraan Gender kelak adalah: 1) kewajiban negara dalam menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan; 2) perlu mengidentifikasi area pemenuhan dan perlindungan, apakah satu atau dua area tertentu, atau multi area dalam arti mengatur hak-hak perempuan diberbagai bidang; 3) perlu mengatur jelas tanggung jawab pihak-pihak terkati seperti lembaga negara, swasta maupun peran serta masyarakat dalam pemenuhan dan perlindungan hak perempuan; 4) perlu mendefinisikan secara jelas kesetaraan gender, ketidakadilan gender maupun diskriminasi gender termasuk didalamnya dampak dari ketidakadilan gender; 5) mekanisme pemenuhan dan perlindungan termasuk didalamnya mekanisme kelembagaan dan pembiayaan; 6) sanksi administratif maupun pidana bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak perempuan ataupun terjadinya diskriminasi akibat perbedaan jenis kelamin.
Selain itu, RUU Kesetaraan Gender ini merupakan RUU yang sangat penting bagi perlindungan hak-hak perempuan di berbagai bidang, sehingga perlu dukungan dari semua pihak, tidak hanya dari kelompok perempuan, tetapi juga dari masyarakat, akademisi, penegak hukum, scientist, jurnalis maupun dari tokoh agama dan adat. Karena mereka merupakan stakeholder dalam RUU ini. Jadi sangat diperlukan sosialisasi secara terbuka dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi partisipasi masyarakat dalam pembahasan nantinya, sebagaimana ketika dilakukan pembahasan UU No. 21/2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dengan adanya peraturan yang komprehensif melindungi hak asasi perempuan di berbagai bidang kehidupan, dan mengatur mekanisme perwujudan kesetaraan gender melalui berbagai langkah tindak dalam upaya pembangunan pembangunan nasional termasuk dalam proses pembentukan hukum dan peraturan perundangan, pengawasan keuangan negara, dan proses penegakkan hukum, maka hal ini merupakan pemenuhan prinsip kewajiban negara secara de jure dan de facto dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Disinilah kemudian jaminan konstitusi negara Indonesia bagi warga negaranya dapat diwujudkan, karena konstitusi tersebut perlu diturunkan dalam aturan dan jaminan pelaksanaan yang lebih detil lagi melalui peraturan perundang-undangan dibawahnya. Semoga cita-cita mewujudkan tatanan masyarakat yang berdasar pada kesetaraan dan keadilan gender dapat segera terwujud.*****
*)Estu R Fanani adalah Koordinator CEDAW Working Group of Indonesia (CWGI)
**)Tulisan dipublikasikan dalam Buletin Perempuan Bergerak Edisi I, Januari-Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar