Kesetaraan Gender: Kondisi Perempuan Yang Perlu
Diwujudkan
Latar Belakang
Dalam Konstitusi, Pasal 28 I (2) UUD
1945 menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Hal ini berarti bahwa
secara filosofis, Indonesia menjamin dan melindungi tiap warga negaranya dari
sikap atau tindakan diskriminatif tanpa membeda-bedakan status sosial, ras,
suku, budaya, agama, maupun jenis kelamin. Karena tindakan diskriminatif yang
menyebabkan penguasaan dan dominasi terhadap salah satu kelompok warga tertentu
merupakan sikap yang tidak berperikemanusiaan dan berperikeadilan, sebagaimana
dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu
adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
![http://www.kalyanamitra.or.id/wp-content/uploads/2012/09/gender-equality.jpg](file:///C:\DOCUME~1\arjuna\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg)
Hal tersebut dikarenakan terjadinya
ketidakadilan gender yang merupakan akibat dari budaya patriarkhi yang masih
kuat berkembang di masyarakat dan dilanggengkan dalam berbagai kehidupan
melalui praktik-praktik nilai-nilai budaya, sosial dan nilai-nilai kehidupan
lainnya, telah membawa pembedaan akses, peminggiran, stereotype, beban yang
berlebih, hingga pada kekerasan terhadap perempuan. Dampak tersebut terjadi di
berbagai bidang kehidupan karena budaya patriarkhi sudah menginternal dalam
pikiran-pikiran setiap individu anggota masyarakat yang seringkali berwujud
pada tindakan-tindakan mereka ketika mereka berada di ranah publik maupun
domestik karena kerja-kerjanya.
Ketika ketidakadilan gender ini
dibiarkan berlangsung terus menerus, maka akan menghambat perkembangan
kemakmuran masyarakat dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari
potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negara dan terhadap umat
manusia. Dan kondisi akan semakin parah bagi perempuan, ketika kemiskinan
mendera, yang akhirnya menempatkan perempuan pada posisi yang paling sedikit
mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan,
pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh kesempatan kerja dan lain-lain
kebutuhan.
Oleh karenanya, kondisi
ketidakadilan gender yang menimbulkan diskriminasi pada perempuan ini harus
dirubah dan dihapuskan dengan langkah tindak sebagaimana yang dimandatkan dalam
UU No. 7 Tahun 1984 beserta lampirannya. Dimana dalam UU tersebut pemerintah
Indonesia mempunyai kewajiban untuk mempromosikan, memenuhi dan melindungi
hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan sebagai individu dan sebagai anggota
masyarakat. Dengan demikian Negara berkewajiban melakukan segala upaya untuk
memberikan perlindungan, penjaminan dan pemenuhan hak untuk hidup aman, setara
dan adil bagi warganegaranya, terutama bagi warganegara perempuan yang masih
mengalami ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender di berbagai bidang kehidupan
terutama di perdesaan.
Peraturan tentang Kesetaraan Gender
Upaya pengaturan dan jaminan secara
hukum terhadap hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan, merupakan salah
satu upaya yang diharapkan dapat dilakukan oleh negara-negara pihak dari
Konvensi CEDAW tersebut.
Saat ini, ada sekitar 45 negara yang
sudah mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kesetaraan gender dalam
berbagai bentuk peraturan. Secara umum, terdapat dua model pengaturan tentang
kesetaraan gender ini. Yang pertama, peraturan yang isinya mencakup 16 pasal
dalam CEDAW; yang kedua, peraturan yang bertujuan khusus mengatur satu atau dua
bidang penting dalam CEDAW, misalnya tentang kekerasan berbasis gender,
pendidikan atau diskriminasi terhadap perempuan.
Peraturan tentang kesetaraan gender
yang pertama di dunia adalah Peraturan tentang Kesetaraan Seks (Law on Sex
Equality) yang dikeluarkan oleh Republik Rakyat Demokratik Korea pada 1946.
Kemudian Undang-Undang tentang Kesetaraan Upah (Equal Pay Act) pada 1970 di UK
dan Undang-Undang tentang Diskriminasi Seks (Sex Discrimination Act) pada 1975
di UK. Ketiganya merupakan peraturan sebelum ada konvensi CEDAW. Setelah ada
konvensi CEDAW, terdapat Undang-Undang Diskriminasi Seks (Sex Discrimination
Act) pada 1984 di Australia. Setelah itu, mulai diterbitkanlah peraturan maupun
undang-undang sejenis di beberapa negara di Asia, Afrika dan Eropa.
Indonesia merupakan salah satu
negara yang saat ini sedang menggagas keberadaan perlunya pengaturan secara
khusus yang menjamin kesetaraan gender. Pada periode legislasi nasional
2010-2014, pemerintah mengusulkan pembahasan RUU tentang Keadilan dan
Kesetaraan Gender. Dan pada 2011 ini, RUU tersebut menjadi salah satu RUU
prioritas pembahasan legislasi dan masuk dalam agenda pembahasan di Komisi
VIII. Dan hingga Maret 2011 ini, ada dua versi draft yakni pertama, RUU tentang
Kesetaraan Gender yang diusulkan dan disusun oleh Pemerintah dalam hal ini
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kedua, RUU tentang
Pengarus Utamaan Gender yang diusulkan dan disusun oleh Komisi VIII DPR-RI.
Namun sampai sekarang belum dimulai pembahasan RUU tersebut.
Saat ini, masyarakat sipil sedang
menggagas untuk masukan dan kritisi terhadap dua draft yang ada. Karena
berangkat dari filosofi kepentingan yang berbeda, maka Jaringan Advokasi
Kesetaraan Gender bersepakat melalui workshop 11 Maret 2011 untuk membuat
sandingan secara keseluruhan komsep pengaturan tentang kesetaraan gender. Hal
ini karena draft RUU dari pemerintah dan DPR lebih menunjukkan pengaturan
tentang tata kelola mainstreaming gender di Indonesia. Dan jika melihat lebih
jauh, hak-hak perempuan yang spesifik belum menjadi hal penting dalam
pengaturannya karena diletakkan pada penjelasan pasal dan belum jelasnya
kewajiban siapa dalam menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan
dalam berbagai bidang.
Oleh karena itu, beberapa usulan
penting yang perlu diatur dalam RUU Kesetaraan Gender kelak adalah: 1)
kewajiban negara dalam menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan;
2) perlu mengidentifikasi area pemenuhan dan perlindungan, apakah satu atau dua
area tertentu, atau multi area dalam arti mengatur hak-hak perempuan diberbagai
bidang; 3) perlu mengatur jelas tanggung jawab pihak-pihak terkati seperti
lembaga negara, swasta maupun peran serta masyarakat dalam pemenuhan dan
perlindungan hak perempuan; 4) perlu mendefinisikan secara jelas kesetaraan
gender, ketidakadilan gender maupun diskriminasi gender termasuk didalamnya
dampak dari ketidakadilan gender; 5) mekanisme pemenuhan dan perlindungan
termasuk didalamnya mekanisme kelembagaan dan pembiayaan; 6) sanksi
administratif maupun pidana bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak perempuan
ataupun terjadinya diskriminasi akibat perbedaan jenis kelamin.
Selain itu, RUU Kesetaraan Gender
ini merupakan RUU yang sangat penting bagi perlindungan hak-hak perempuan di
berbagai bidang, sehingga perlu dukungan dari semua pihak, tidak hanya dari
kelompok perempuan, tetapi juga dari masyarakat, akademisi, penegak hukum,
scientist, jurnalis maupun dari tokoh agama dan adat. Karena mereka merupakan
stakeholder dalam RUU ini. Jadi sangat diperlukan sosialisasi secara terbuka
dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi partisipasi masyarakat dalam pembahasan
nantinya, sebagaimana ketika dilakukan pembahasan UU No. 21/2007 tentang
Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dengan adanya peraturan yang
komprehensif melindungi hak asasi perempuan di berbagai bidang kehidupan, dan
mengatur mekanisme perwujudan kesetaraan gender melalui berbagai langkah tindak
dalam upaya pembangunan pembangunan nasional termasuk dalam proses pembentukan
hukum dan peraturan perundangan, pengawasan keuangan negara, dan proses
penegakkan hukum, maka hal ini merupakan pemenuhan prinsip kewajiban negara
secara de jure dan de facto dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender
dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Disinilah
kemudian jaminan konstitusi negara Indonesia bagi warga negaranya dapat
diwujudkan, karena konstitusi tersebut perlu diturunkan dalam aturan dan
jaminan pelaksanaan yang lebih detil lagi melalui peraturan perundang-undangan
dibawahnya. Semoga cita-cita mewujudkan tatanan masyarakat yang berdasar pada
kesetaraan dan keadilan gender dapat segera terwujud.*****
*)Estu R Fanani adalah Koordinator
CEDAW Working Group of Indonesia (CWGI)
**)Tulisan dipublikasikan dalam
Buletin Perempuan Bergerak Edisi I, Januari-Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar