PENTINGNYA
PAYUNG HUKUM KESETARAAN GENDER
Komitmen Pemerintah dalam mencapai
kesetaraan dan keadilan gender sudah lama tersurat dalam konstitusi UUD 1945
yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia tanpa adanya pembedaan baik ras,
agama, jenis kelamin maupun gender. Bahkan sejak tahun 1978, upaya untuk
mencapai kesetaraan dan keadilan gender telah dicantumkan dalam GBHN. Di tahun
yang sama pula Presiden membentuk Kementrian Muda Urusan Peranan Wanita (MENMUD
UPW) yang merupakan cikal bakal dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. Pada tahun 1984, Pemerintah Indonesia meratifikasi “konvensi
perempuan” yakni Convention on the Elemination of All Forms of
Discrimination Againts Women (CEDAW) menjadi undang-undang No. 7 th 1984.
Di masa reformasi setelah GBHN ditiadakan, untuk tetap melanjutkan perjuangan
mencapai kesetaraan dan keadilan gender Pemerintah kemudian mengeluarkan
Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
Pembangunan Nasional dan surat Keputusan Kemendagri No. 132 tahun 2003 tentang
tentang pedoman umum pelaksanaan pengarustumaan gender dalam pembangunan di
daerah sebagai tindak lanjut dari Inpres.
Selama era reformasi, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) juga telah menghasilkan beberapa
peraturan perundang-undangan yang dapat dikatakan telah responsif gender antara
lain:
- 8 ratifikasi internasional mengenai hak asasi manusia yang berhubungan dengan perempuan dan anak ( CRC, ICCPR, ICESCR, CAT, ICRDP, ICPMW)
- Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- UU PAKET PEMILU (tentang Partai Politik; PEMILU; MD3) memasukkan affirmative action kuota perempuan 30%
- Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
- Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
- Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
- Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
- Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangan Orang
- Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Namun demikian, perangkat peraturan
perundang-undangan tersebut masih dirasakan tidak cukup karena belum ada satu
payung hukum yang mampu menjadi sandaran utuh bagi pencapaian kesetaraan dan
keadilan gender. RUU KKG merupakan rancangan peraturan perundang-undangan yang
strategis yang akan dijadikan payung kebijakan dalam rangka menciptakan situasi
kondusif bagi pencegahan diskriminasi gender maupun kesenjangan gender.
Mengapa Perlu RUU Kesetaraan dan
Keadilan Gender?
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945
yang berbunyi “membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta mewujudkan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial” mempunyai arti filosofis yaitu Negara menjamin hak setiap orang dan
berkewajiban untuk melindungi hak tersebut dari perilaku diskriminatif. Selain
itu kata keadilan sosial juga dapat dimaknai bahwa setiap proses dan hasil
pembangunan harus dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia baik laki-laki
dan perempuan. Oleh karena itu, RUU KKG secara filosofis telah sejalan dengan
apa yang telah diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita bangsa dan
Negara. Dengan adanya RUU KKG diharapkan tanggung jawab sosial baik pemerintah,
swasta maupun masyarakat terhadap kesetaraan dan keadilan gender akan semakin
meningkat.
Selain secara filosofis, pembentukkan
RUU KKG juga telah sejalan dan tidak bertentangan dengan landasan yuridis. Hal
ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang telah ada antara lain:
- Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yaitu persamaan kedudukan warga negara di mata hukum dan pemerintah;
- Pasal 28 D ayat (1); Pasal 28 (H) ayat 2; dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945
Mengenai hak atas jaminan akan
kepastian hukum, hak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan serta hak
bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun serta perlindungan dari
perilaku diskriminatif.
- UU No. 7 tahun 1984 tentang konvensi CEDAW
- UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 45 – Pasal 51 antara lain:
- Pasal 45 : Hak wanita dalam UU ini adalah hak asasi manusia
- Pasal 46 : Sistem Pemilu, Kepartaian, pemilihan anggota badan legislative, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan perempuan sesuai persyaratan yang ditentukan.
- Pasal 47 : seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya
- Pasal 48 : perempuan berhak untuk memperoleh pendidikan
- Pasal 49 antara lain tentang hak politik perempuan dan hak reproduksi perempuan
- Pasal 50 : hak untuk dapat melakukan perbuatan hukum sendiri bagi perempuan dewasa dan menikah
- Pasal 51 : hak perempuan dalam ikatan perkawinan
- Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia selain CEDAW antara lain:
- UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak ekonomi, Sosial dan Budaya
- UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
- Pengaturan secara spesifik kesetaraan dan keadilan gender ditataran eksekutif yakni Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.
Selama ini peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara spesifik mengenai kesetaraan dan keadilan
gender masih berbentuk Instruksi Presiden (selain UU konvensi CEDAW).
Berdasarkan UU No. 12 tahun 2011, kedudukan instruksi presiden tidak ada dalam
struktur peraturan perundang-undangan dan sudah dipastikan kekuatan hukumnya
jauh berada dibawah undang-undang. InPres No. 9 tahun 2000 ini juga hanya
mengikat dan mengatur pemerintah eksekutif saja. Ini artinya komitmen
Pemerintah mengenai PUG baru berlaku pada ranah eksekutif, sedangkan legislatif
dan yudikatif belum ada. Dengan membentuk Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan
Gender bukankah akan semakin memperluas usaha pengarusutamaan gender baik
pemerintah dalam artian luas (eksekutif, legislative dan yudikatif) serta
masyarakat dan swasta.
Untuk melihat landasan sosiologis
pembentukkan UU KKG ini kita perlu mengupas kondisi pembangunan Indonesia saat
ini yaitu sejauhmana pembangunan Indonesia telah responsive gender. Angka
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia sejak tahun 2004-2010 meningkat
setiap tahunnya yaitu 68,69 di tahun 2004 dan 72,27 di tahun 2010[1].
Komponen yang dihitung untuk mendapatkan angka IPM oleh BPS antara lain adalah
Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah dan
Pengeluaran Per Kapita pertahun. Meskipun mengalami peningkatan, untuk skala
internasional IPM di Indonesia sulit dikatakan meningkat karena memang metode
penghitungan yang digunakan berbeda. UNDP untuk tahun 2010 menempatkan IPM
Indonesia ke dalam peringkat ke-108 dari 169 Negara untuk itu peningkatan
pembangunan manusia masih perlu kita tingkatkan lagi.
Seperti kita ketahui bersama bahwa
angka IPM yang menggambarkan kualitas capaian pembangunan kapabilitas manusia
dibidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi tidak dapat menggambarkan secara
jelas apakah pembangunan tersebut telah dinikmati secara adil antara laki-laki
dan perempuan. Dengan demikian diperlukan angka IPG untuk menggambarkan
perbedaan pencapaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan (kesenjangan
gender) di Indonesia.
Sama halnya dengan angka IPM, angka
IPG juga mengalami peningkatan setiap tahunnya meskipun angka IPG masih lebih
rendah dari IPM. Pada tahun 2004 nilai nasional IPG adalah 63,94, kemudian pada
tahun 2010 meningkat menjadi 67,20[2].
Hal tersebut menandakan bahwa perkembangan pembangunan perempuan Indonesia baik
kesehatan, pendidikan dan hidup layak dalam kurun waktu tersebut mengalami
perbaikan. Tabel berikut menggambarkan perubahan nilai IPG dan IPM dari tahun
2004-2010. Perbedaan antara angka IPM dan IPG menunjukkan masih terjadi
kesenjangan gender di Indonesia. Gambaran ini semakin terlihat lebih jelas pada
tingkat daerah. Berdasarkan data yang diberikan oleh KemenPP&PA dan BPS[3]
setidaknya terdapat 8 Provinsi atau sekitar 24% dari total Provinsi Indonesia
yang memiliki angka IPM diatas rata-rata Nasional namun memiliki angka IPG
dibawah rata-rata nasional. Dan sebanyak 16 Provinsi atau 49% provinsi yang
memiliki nilai IPM dan IPG dibawah rata-rata angka nasional.
Tabel Perkembangan IPM dan IPG di
Indonesia
Tahun
|
IPM
|
IPG
|
2004
|
68,69
|
63,94
|
2005
|
69,57
|
65,13
|
2006
|
70,08
|
65,27
|
2007
|
70,59
|
65,81
|
2008
|
71,17
|
66,38
|
2009
|
71,76
|
66,77
|
2010
|
72,27
|
67,20
|
Sumber: Pembangunan Manusia Berbasis
Gender 2011 kerjasama BPS dan KemenPPPA. 2011
Kesenjangan gender juga dapat dilihat
dari banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan dibandingkan dengan
laki-laki baik dilingkungan publik dan bahkan domestik. Pada tahun 2011 Komnas
Perempuan melaporkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami
peningkatan berkisar 13,32% yakni mencapai 119.107 kasus dari tahun lalu yang
mencapai 105.103[4].
Kasus kekerasan terhadap perempuan seringkali terjadi pada lingkungan yang
seharusnya menjadi lingkungan teraman yaitu rumah tangga dan seringkali
dilakukan oleh orang terdekat atau keluarga. Pada lingkungan publik, perempuan
juga sering menjadi objek eksploitasi seperti korban perdagangan, kekerasan
oleh majikan, korban pemerkosaan dan sebagainya. Hal ini tentu saja menunjukkan
betapa pengetahuan dan pemahaman perempuan mengenai hak-haknya masih rendah.
Oleh karena itu, menjadi tugas Negara untuk meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan sekaligus melindungi hak-hak perempuan dengan membentuk
Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan gender.
Undang-Undang Kesetaraan dan
Keadilan Gender juga diperlukan dalam mendorong upaya sementara dalam
peningkatan kepemimpinan perempuan diberbagai bidang. Sebagai contoh upaya
sementara ini telah dilakukan dalam peningkatan keterwakilan perempuan di
lembaga perwakilan pusat maupun daerah dengan kebijakan kuota 30%. Meskipun
kuota tersebut belum terpenuhi namun jumlah keterwakilan perempuan mengalami
peningkatan. Kebijakan upaya sementara ini tidak hanya dibutuhkan pada lembaga
perwakilan saja, jumlah kepemimpinan perempuan pada eksekutif dan judikatif
juga memerlukan dorongan dan dukungan tersebut.
Faktor penting lain yang menjadi
dasar pembentukkan UU KKG adalah dalam rangka pencapaian tujuan MDG’s. Seperti
kita ketahui dari delapan point tujuan MDG’s salah satu pointnya adalah
mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Untuk mencapai hal
tersebut, DPR sebagai legislator berkomitmen dalam pencapaian MDG’s dan
penegakan HAM untuk untuk menyediakan akses yang setara bagi semua pihak dengan
memproduksi undang-undang yang responsive gender. Dengan demikian, UU KKG
diharapkan akan menjadi sarana percepatan dalam pembangunan responsif gender di
Indonesia.
Berdasarkan ketiga landasan tersebut
diatas maka untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, maka menjadi
kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan dan menjamin terwujudnya
kesetaraan gender termasuk tindakan-tindakan khusus sementara yang mencakup
akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan dan penikmatan manfaat
yang sama dan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam pembangunan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar