Sabtu, 09 Agustus 2014

PENTINGNYA PAYUNG HUKUM KESETARAAN GENDER



PENTINGNYA PAYUNG HUKUM KESETARAAN GENDER

Komitmen Pemerintah dalam mencapai kesetaraan dan keadilan gender sudah lama tersurat dalam konstitusi UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia tanpa adanya pembedaan baik ras, agama, jenis kelamin maupun gender. Bahkan sejak tahun 1978, upaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender telah dicantumkan dalam GBHN. Di tahun yang sama pula Presiden membentuk Kementrian Muda Urusan Peranan Wanita (MENMUD UPW) yang merupakan cikal bakal dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pada tahun 1984, Pemerintah Indonesia meratifikasi “konvensi perempuan” yakni Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) menjadi undang-undang No. 7 th 1984. Di masa reformasi setelah GBHN ditiadakan, untuk tetap melanjutkan perjuangan mencapai kesetaraan dan keadilan gender Pemerintah kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional dan surat Keputusan Kemendagri No. 132 tahun 2003 tentang tentang pedoman umum pelaksanaan pengarustumaan gender dalam pembangunan di daerah sebagai tindak lanjut dari Inpres.
Selama era reformasi, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) juga telah menghasilkan beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dikatakan telah responsif gender antara lain:
  1. 8 ratifikasi internasional mengenai hak asasi manusia yang berhubungan dengan perempuan dan anak ( CRC, ICCPR, ICESCR, CAT, ICRDP, ICPMW)
  2. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  3. UU PAKET PEMILU (tentang Partai Politik; PEMILU; MD3) memasukkan affirmative action kuota perempuan 30%
  4. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
  5. Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
  6. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
  7. Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
  8. Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
  9. Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangan Orang
  10. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Namun demikian, perangkat peraturan perundang-undangan tersebut masih dirasakan tidak cukup karena belum ada satu payung hukum yang mampu menjadi sandaran utuh bagi pencapaian kesetaraan dan keadilan gender. RUU KKG merupakan rancangan peraturan perundang-undangan yang strategis yang akan dijadikan payung kebijakan dalam rangka menciptakan situasi kondusif bagi pencegahan diskriminasi gender maupun kesenjangan gender.
Mengapa Perlu RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender?
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” mempunyai arti filosofis yaitu Negara menjamin hak setiap orang dan berkewajiban untuk melindungi hak tersebut dari perilaku diskriminatif. Selain itu kata keadilan sosial juga dapat dimaknai bahwa setiap proses dan hasil pembangunan harus dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia baik laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, RUU KKG secara filosofis telah sejalan dengan apa yang telah diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita bangsa dan Negara. Dengan adanya RUU KKG diharapkan tanggung jawab sosial baik pemerintah, swasta maupun masyarakat terhadap kesetaraan dan keadilan gender akan semakin meningkat.
Selain secara filosofis, pembentukkan RUU KKG juga telah sejalan dan tidak bertentangan dengan landasan yuridis. Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang telah ada antara lain:
  1. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yaitu persamaan kedudukan warga negara di mata hukum dan pemerintah;
  2. Pasal 28 D ayat (1); Pasal 28 (H) ayat 2; dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945
Mengenai hak atas jaminan akan kepastian hukum, hak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan serta hak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun serta perlindungan dari perilaku diskriminatif.
  1. UU No. 7 tahun 1984 tentang konvensi CEDAW
  2. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 45 – Pasal 51 antara lain:
    1. Pasal 45 : Hak wanita dalam UU ini adalah hak asasi manusia
    2. Pasal 46 : Sistem Pemilu, Kepartaian, pemilihan anggota badan legislative, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan perempuan sesuai persyaratan yang ditentukan.
    3. Pasal 47 : seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya
    4. Pasal 48 : perempuan berhak untuk memperoleh pendidikan
    5. Pasal 49 antara lain tentang hak politik perempuan dan hak reproduksi perempuan
    6. Pasal 50 : hak untuk dapat melakukan perbuatan hukum sendiri bagi perempuan dewasa dan menikah
    7. Pasal 51 : hak perempuan dalam ikatan perkawinan
    8. Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia selain CEDAW antara lain:
      1. UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak ekonomi, Sosial dan Budaya
      2. UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
      3. Pengaturan secara spesifik kesetaraan dan keadilan gender ditataran eksekutif yakni Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.
Selama ini peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik mengenai kesetaraan dan keadilan gender masih berbentuk Instruksi Presiden (selain UU konvensi CEDAW). Berdasarkan UU No. 12 tahun 2011, kedudukan instruksi presiden tidak ada dalam struktur peraturan perundang-undangan dan sudah dipastikan kekuatan hukumnya jauh berada dibawah undang-undang. InPres No. 9 tahun 2000 ini juga hanya mengikat dan mengatur pemerintah eksekutif saja. Ini artinya komitmen Pemerintah mengenai PUG baru berlaku pada ranah eksekutif, sedangkan legislatif dan yudikatif belum ada. Dengan membentuk Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender bukankah akan semakin memperluas usaha pengarusutamaan gender baik pemerintah dalam artian luas (eksekutif, legislative dan yudikatif) serta masyarakat dan swasta.
Untuk melihat landasan sosiologis pembentukkan UU KKG ini kita perlu mengupas kondisi pembangunan Indonesia saat ini yaitu sejauhmana pembangunan Indonesia telah responsive gender. Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia sejak tahun 2004-2010 meningkat setiap tahunnya yaitu 68,69 di tahun 2004 dan 72,27 di tahun 2010[1]. Komponen yang dihitung untuk mendapatkan angka IPM oleh BPS antara lain adalah Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah dan Pengeluaran Per Kapita pertahun. Meskipun mengalami peningkatan, untuk skala internasional IPM di Indonesia sulit dikatakan meningkat karena memang metode penghitungan yang digunakan berbeda. UNDP untuk tahun 2010 menempatkan IPM Indonesia ke dalam peringkat ke-108 dari 169 Negara untuk itu peningkatan pembangunan manusia masih perlu kita tingkatkan lagi.
Seperti kita ketahui bersama bahwa angka IPM yang menggambarkan kualitas capaian pembangunan kapabilitas manusia dibidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi tidak dapat menggambarkan secara jelas apakah pembangunan tersebut telah dinikmati secara adil antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian diperlukan angka IPG untuk menggambarkan perbedaan pencapaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan (kesenjangan gender) di Indonesia.
Sama halnya dengan angka IPM, angka IPG juga mengalami peningkatan setiap tahunnya meskipun angka IPG masih lebih rendah dari IPM. Pada tahun 2004 nilai nasional IPG adalah 63,94, kemudian pada tahun 2010 meningkat menjadi 67,20[2]. Hal tersebut menandakan bahwa perkembangan pembangunan perempuan Indonesia baik kesehatan, pendidikan dan hidup layak dalam kurun waktu tersebut mengalami perbaikan. Tabel berikut menggambarkan perubahan nilai IPG dan IPM dari tahun 2004-2010. Perbedaan antara angka IPM dan IPG menunjukkan masih terjadi kesenjangan gender di Indonesia. Gambaran ini semakin terlihat lebih jelas pada tingkat daerah. Berdasarkan data yang diberikan oleh KemenPP&PA dan BPS[3] setidaknya terdapat 8 Provinsi atau sekitar 24% dari total Provinsi Indonesia yang memiliki angka IPM diatas rata-rata Nasional namun memiliki angka IPG dibawah rata-rata nasional. Dan sebanyak 16 Provinsi atau 49% provinsi yang memiliki nilai IPM dan IPG dibawah rata-rata angka nasional.
Tabel Perkembangan IPM dan IPG di Indonesia
Tahun
IPM
IPG
2004
68,69
63,94
2005
69,57
65,13
2006
70,08
65,27
2007
70,59
65,81
2008
71,17
66,38
2009
71,76
66,77
2010
72,27
67,20
Sumber: Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 kerjasama BPS dan KemenPPPA. 2011
Kesenjangan gender juga dapat dilihat dari banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan dibandingkan dengan laki-laki baik dilingkungan publik dan bahkan domestik. Pada tahun 2011 Komnas Perempuan melaporkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan berkisar 13,32% yakni mencapai 119.107 kasus dari tahun lalu yang mencapai 105.103[4]. Kasus kekerasan terhadap perempuan seringkali terjadi pada lingkungan yang seharusnya menjadi lingkungan teraman yaitu rumah tangga dan seringkali dilakukan oleh orang terdekat atau keluarga. Pada lingkungan publik, perempuan juga sering menjadi objek eksploitasi seperti korban perdagangan, kekerasan oleh majikan, korban pemerkosaan dan sebagainya. Hal ini tentu saja menunjukkan betapa pengetahuan dan pemahaman perempuan mengenai hak-haknya masih rendah. Oleh karena itu, menjadi tugas Negara untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan sekaligus melindungi hak-hak perempuan dengan membentuk Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan gender.
Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender juga diperlukan dalam mendorong upaya sementara dalam peningkatan kepemimpinan perempuan diberbagai bidang. Sebagai contoh upaya sementara ini telah dilakukan dalam peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan pusat maupun daerah dengan kebijakan kuota 30%. Meskipun kuota tersebut belum terpenuhi namun jumlah keterwakilan perempuan mengalami peningkatan. Kebijakan upaya sementara ini tidak hanya dibutuhkan pada lembaga perwakilan saja, jumlah kepemimpinan perempuan pada eksekutif dan judikatif juga memerlukan dorongan dan dukungan tersebut.
Faktor penting lain yang menjadi dasar pembentukkan UU KKG adalah dalam rangka pencapaian tujuan MDG’s. Seperti kita ketahui dari delapan point tujuan MDG’s salah satu pointnya adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Untuk mencapai hal tersebut, DPR sebagai legislator berkomitmen dalam pencapaian MDG’s dan penegakan HAM untuk untuk menyediakan akses yang setara bagi semua pihak dengan memproduksi undang-undang yang responsive gender. Dengan demikian, UU KKG diharapkan akan menjadi sarana percepatan dalam pembangunan responsif gender di Indonesia.
Berdasarkan ketiga landasan tersebut diatas maka untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, maka menjadi kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan dan menjamin terwujudnya kesetaraan gender termasuk tindakan-tindakan khusus sementara yang mencakup akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan dan penikmatan manfaat yang sama dan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam pembangunan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar